Milenial, Teknologi dan Bahasa Sunda
Oleh: Ikmal Trianto – Alumni Magister Linguistik, Universitas Pendidikan Indonesia
Generasi milenial dianggap sebagai generasi yang mampu beradaptasi dengan baik pada beberapa hal termasuk pada penggunaan bahasa. Bahasa dipandang memiliki peranan penting terhadap perkembangan intelektual, sosial dan emosional bagi generasi milenial. Sehingga generasi milenial setidaknya mampu menuturkan lebih dari dua bahasa.
Kaum milenial lebih memilih mencampurkan ragam bahasa yang mereka punyai, seperti bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai alternatif untuk menghindari kesalahpahaman tuturan, sehingga dipilih bahasa yang lebih dianggap universal. Milenial berasumsi bahwa bahasa harus memberikan nilai kepraktisan, sehingga tidak perlu dirumitkan, terutama penggunaan secara umum dan tidak ada aturan yang mengikat. Kecenderungan untuk melakukan efisiensi dalam berkomunikasi akan mempermudah interaksi sosial serta menyampaikan tuturan sejelas mungkin. Mereka ini mengasumsikan tuturan dalam bahasa Sunda misalnya dinilai lebih rumit, maka mereka memilih bahasa yang dianggapnya lebih mudah.
Potensi kecenderungan terhadap pemilihan bahasa itu akan memberikan dampak terhadap bahasa Sunda di kemudian hari. Bahasa Sunda merupakan bahasa ibu dengan jumlah penutur terbesar kedua dengan sekitar 42 juta penutur. Dibalik fakta tersebut, bahasa Sunda diperkirakan tentu akan terancam punah di tahun-tahun mendatang. Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015 disebutkan dalam kurun waktu 10 tahun terdapat dua juta penutur bahasa Sunda yang berkurang. Bahasa-bahasa yang terancam punah adalah bahasa-bahasa yang secara sosial dan ekonomi tergolong minoritas serta mendapat tekanan yang cukup besar dari mayoritas.
Keterampilan bahasa generasi milenial tidak bisa dipisahkan dengan penggunaan teknologi, karena generasi milenial tumbuh di era berkembangnya industri teknologi digital. Mereka terhubung secara langsung dengan teman atau keluarga melalui internet. Pesan instan, telepon seluler, blog dan jejaring sosial adalah bagian normal dari kehidupan sehari-hari mereka dan memungkinkan terkoneksi kapan dan di mana saja.
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan membentuk perilaku serta kebiasaan masyarakat dalam berinteraksi. Bahasa slang salah satunya, merupakan salah satu ragam bahasa yang sering digunakan oleh kalangan masyarakat ‚modern‘. Teknologi memiliki peran sebagai medium terhadap penggunaan ragam bahasa tersebut, karena digunakan secara masif dan intensif, terutama melalui media sosial. Hal tersebut tentu berdampak terhadap keberagaman bahasa serta penggunaannya di Indonesia sendiri. Hadirnya fitur teknologi yang kini dapat membantu masyarakat untuk mempelajari bahasa lebih dari satu masyarakat, memudahkan mereka dalam berinteraksi dan melatih kemampuan kebahasaannya. Sebagai negara multibahasa, kehadiran teknologi ini diharapkan akan mampu menumbuhkan rasa bahasa bagi seluruh masyarakat, terutama untuk perkembangan bahasa daerah dan bahasa nasional.
Era teknologi dan informasi digital kini adalah salah satu alasan masyarakat untuk giat mempelajari bahasa asing, terutama bahasa Inggris yang dianggap sebagai komoditas utama dalam sektor industri. Selain itu, bahasa Inggris dikalangan milenial dinilai menentukan status sosial dan intelektual. Eksistensi bahasa asing di Indonesia merupakan representasi dari budaya yang dilihat prestisius. Faktor urbanisasi memunculkan komunitas tutur baru yang akan menyaingi bahasa daerah. Variasi dan ragam bahasa yang berkembang memberikan pilihan ragam penggunaan bahasa. Indonesia sendiri memiliki ragam penutur dengan perbedaan etnik, agama serta latar belakang linguistik, tentu sangat memungkinkan adanya persaingan antar bahasa. Persaingan ragam komunitas tutur di sebagian wilayah tatar Sunda memberikan umpan balik pada individu dalam menyikapi penggunaan bahasa yang ada, terutama diantara kalangan milenial.
Dikutip dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat pada 2013 menyatakan bahwa hanya sekitar 40 persen anak-anak di Jawa Barat yang mengetahui dan bisa berbahasa Sunda. Seringkali kita jumpai, bahwa para orang tua sekarang ini, baik itu kelompok X dan Y cenderung lebih mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak-anak mereka, yakni kelompok generasi Z dan Alfa, dibandingkan bahasa Sunda itu sendiri. Begitupun dengan generasi baby boomers, kelompok ini pun lebih banyak memilih menggunakan bahasa Indonesia jika sedang berkomunikasi dengan kelompok gen Z dan Alfa. Penuturan bahasa Indonesia lintas generasi tersebut seakan sudah otomatis terpilih oleh masyarakat masa kini.
Namun, sebagian generasi milenial menganggap bahasa Sunda tidak lagi diperlukan. Modernisasi zaman adalah salah satu alasan yang mendasari tidak lagi digunakannya bahasa Sunda dalam interaksi oleh kaum milenial. Penggunaan bahasa asing dianggap lebih diperlukan dibandingkan bahasa Sunda. Pada beberapa kelompok masyarakat, orang tua kelompok milenial cenderung mengajarkan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris dibandingkan bahasa ibu/daerah mereka sendiri. Masyarakat kini tampak tidak lagi memiliki antusiasme terhadap bahasa ibu mereka. Perlahan bahasa daerah sebagai bahasa ibu kini mulai ditinggalkan penuturnya dalam pergaulan atau kegiatan antarkomunitas karena dominannya bahasa kedua yang menguasai berbagai bidang. Terlepas dari anggapan bahwa bahasa Sunda yang mereka kuasai, dinilai tidak baik.
Kehadiran teknologi sebetulnya dapat dimanfaatkan sebagai media pengembangan bahasa daerah, pun halnya bahasa Sunda. Keberadaan bahasa Sunda bukan tidak mungkin tergeserkan, jika tidak didukung oleh upaya pengembangan secara komprehensif dan sistematis. Dalam pemanfaatan teknologi, bahasa Sunda kalah populer dibandingkan bahasa Jawa melalui unsur budaya ataupun musik. Stereotipe masyarakat terhadap nilai-nilai budaya dan bahasa Sunda yang dianggap ‘kuno’ perlu dipatahkan dengan mendorong kelompok milenial ini mengkreasikan ide kreatif untuk mengubah penampilan bahasa Sunda melalui teknologi, sehingga lebih berterima untuk masyarakat luas. Kreativitas terhadap ragam bahasa tersebut setidaknya akan mengubah perspektif masyarakat terhadap keberadaan bahasa Sunda itu sendiri.